Katakanlah dari kecil Anda percaya bahwa manusia adalah
satu-satunya makhluk berperadaban di jagat raya. Katakanlah Anda hidup dengan
dogma bahwa dalam kisah Bawang Merah – Bawang Putih, si Merah tentulah
penjahatnya. Singkat kata, apa yang terlanjur diyakini sampai-sampai tak
terpikirkan lagi, suatu ketika justru hal berbeda yang Anda dapati..
Misalnya ternyata di Mars sana ternyata didiami spesies
kadal berintelegensi super dengan kemampuan memanipulasi sinar gamma yang
berfungsi melindungi mereka dari indera “tetangga” mereka di bumi. Misalnya
ternyata Bawang Merah dan Bawang Putih adalah lambang kandidat dalam suatu
pemilihan kepala desa, didesign sedemikian rupa oleh Timses Partai Bawang Putih
dengan semangat propaganda mendukung calonnya. Bisa-bisa saja, siapa tahu.
Jika tidak sedang malas, Anda bisa luangkan sedikit waktu
untuk berselancar di mesin pencari tentang kisah Menak Jinggo asal Banyuwangi.
Bagi masyarakat Jawa, Menak Jinggo digambarkan sebagai penguasa asal Teluk Pang
Pang (Banyuwangi) yang berkulit kemerahan dan bertubuh bongsor seperti raksasa
(menak = Bangsawan; Jinggo = Kemerahan/jingga). Sudah lazim dalam seni
penggambaran sosok oleh masayarakat jawa, bahwa seseorang dengan wajah merah
adalah durjana –lihat bagaimana mereka mewarnai muka Rahwana.
Benar, Menak Jinggo
tak hanya digambarkan lalim,
melainkan menderita cacat fisiknya dan buruk rupa. Pendeknya, si Menak Jinggo
ini adalah personifikasi dari segala yang buruk dalam tatanan nilai masyarakat
Jawa.
Namun Menak Jinggo mendapat tempat tersendiri di hati
masyarakat Banyuwangi. Dia adalah pangeran tampan putra Raja Majapahit dari
selir kesayangannya yang tentu saja berbudi luhur dan berjiwa ksatria. Nahas
yang harus diterimanya adalah terasing dari bursa tahta Majapahit akibat disingkirkan
oleh sang Permaisuri yang iri hati. Tidak ada cacat, apalagi tampang raksasa.
It just a matter of
perspective, ya ternyata. Kalau Anda cermati, akar permasalahannya sangat domestik: kemelut rumah tangga raja. Tapi berhubung ini yang crash levelnya elitis, maka pengaruhnya sampai kawula yang sejatinya tidak terlibat dalam urusan rumah tangga rajanya.
Masih soal si Menak Jinggo, sah-sah saja kalau ada yang menukil
sebuah sumber otentik untuk menguatkan kebenaran salah satu kubu, tapi jangan
lupa bahwa sejarah tak jarang ditulis dengan subjektivitas personal.
Lebih-lebih suatu sumber yang ditulis atas permintaaan pihak penguasa atau
pemenang, akan ada terlalu banyak bias dan dibutuhkan kejelian untuk memilah
antara fakta dan propaganda.
Dalam timeline yang lebih baru, kita familiar dengan tumpang
tindihnya teory konspirasi perihal G 30 S, yang diduga dilakukan PKI. Saya
bilaag diduga karena ya, sampai detik ini tidak pernah ada putusan pengadilan
yang menetapkan partai berlambang Palu Arit ini sebagai dalang dari peristiwa
berdarah ini. Oh, tenang, saya tidak akan berpanjang kata membahas ini karena
keterbatasan kompetensi.
Lalu fokus saya beralih pada kegaduhan poltik yang melanda negeri, dewasa ini. Betapa mendadak ada begitu banyak pihak yang akrab dengan perkara hukum, betapa begitu acap kita jumpai aksi lapor-melapor, sehingga batas hitam dan putih menjadi bias. Dan jangan lupakan Media, yang dengan tameng "kebebasan pers"-nya seolah tak terbendung mengipas-ngipasi bara antar kubu.
Dalam benak saya bertanya-tanya, akankah segala kegaduhan ini tak ubahnya framing* yang lahir dari kesepakatan berlapis-lapis dari pihak entah siapa dengan suatu agenda?
Bagaimana jika yang saat ini sedang melanda bangsa ini tak ubahnya intrik purba yang berulang? Mungkin di balik ini hanya akan ditemui hajat segelintir orang saja, yang kemudian disengaja atau tidak, pihak lain yang lebih lugu ini yang kemudian terseret dalam lingkar kepentingan itu.
Meski masih bertanya-tanya, saya putuskan itulah hipotesa saya. Jangan keburu percaya, namanya juga hipotesa.
Jakarta, 23 Januari 2017, sekitar dini hari.
*Framing: pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media
0 komentar:
Posting Komentar