Kemana perginya Air Comberan hendak menyapa Samudera? Estuaria –Muara.

Minggu, 22 Januari 2017

Katakanlah dari kecil Anda percaya bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk berperadaban di jagat raya. Katakanlah Anda hidup dengan dogma bahwa dalam kisah Bawang Merah – Bawang Putih, si Merah tentulah penjahatnya. Singkat kata, apa yang terlanjur diyakini sampai-sampai tak terpikirkan lagi, suatu ketika justru hal berbeda yang Anda dapati..
Misalnya ternyata di Mars sana ternyata didiami spesies kadal berintelegensi super dengan kemampuan memanipulasi sinar gamma yang berfungsi melindungi mereka dari indera “tetangga” mereka di bumi. Misalnya ternyata Bawang Merah dan Bawang Putih adalah lambang kandidat dalam suatu pemilihan kepala desa, didesign sedemikian rupa oleh Timses Partai Bawang Putih dengan semangat propaganda mendukung calonnya. Bisa-bisa saja, siapa tahu.

Jika tidak sedang malas, Anda bisa luangkan sedikit waktu untuk berselancar di mesin pencari tentang kisah Menak Jinggo asal Banyuwangi. Bagi masyarakat Jawa, Menak Jinggo digambarkan sebagai penguasa asal Teluk Pang Pang (Banyuwangi) yang berkulit kemerahan dan bertubuh bongsor seperti raksasa (menak = Bangsawan; Jinggo = Kemerahan/jingga). Sudah lazim dalam seni penggambaran sosok oleh masayarakat jawa, bahwa seseorang dengan wajah merah adalah durjana –lihat bagaimana mereka mewarnai muka Rahwana.

Benar, Menak Jinggo  tak hanya digambarkan  lalim, melainkan menderita cacat fisiknya dan buruk rupa. Pendeknya, si Menak Jinggo ini adalah personifikasi dari segala yang buruk dalam tatanan nilai masyarakat Jawa.
Namun Menak Jinggo mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat Banyuwangi. Dia adalah pangeran tampan putra Raja Majapahit dari selir kesayangannya yang tentu saja berbudi luhur dan berjiwa ksatria. Nahas yang harus diterimanya adalah terasing dari bursa tahta Majapahit akibat disingkirkan oleh sang Permaisuri yang iri hati. Tidak ada cacat, apalagi tampang raksasa.

It just a matter of perspective, ya ternyata. Kalau Anda cermati, akar permasalahannya sangat domestik: kemelut rumah tangga raja. Tapi berhubung ini yang crash levelnya elitis, maka pengaruhnya sampai kawula yang sejatinya tidak terlibat dalam urusan rumah tangga rajanya.

Masih soal si Menak Jinggo, sah-sah saja kalau ada yang menukil sebuah sumber otentik untuk menguatkan kebenaran salah satu kubu, tapi jangan lupa bahwa sejarah tak jarang ditulis dengan subjektivitas personal. Lebih-lebih suatu sumber yang ditulis atas permintaaan pihak penguasa atau pemenang, akan ada terlalu banyak bias dan dibutuhkan kejelian untuk memilah antara fakta dan propaganda.

Dalam timeline yang lebih baru, kita familiar dengan tumpang tindihnya teory konspirasi perihal G 30 S, yang diduga dilakukan PKI. Saya bilaag diduga karena ya, sampai detik ini tidak pernah ada putusan pengadilan yang menetapkan partai berlambang Palu Arit ini sebagai dalang dari peristiwa berdarah ini. Oh, tenang, saya tidak akan berpanjang kata membahas ini karena keterbatasan kompetensi.

Lalu fokus saya beralih pada kegaduhan poltik yang melanda negeri, dewasa ini. Betapa mendadak ada begitu banyak pihak yang akrab dengan perkara hukum, betapa begitu acap kita jumpai aksi lapor-melapor, sehingga batas hitam dan putih menjadi bias. Dan jangan lupakan Media, yang dengan tameng "kebebasan pers"-nya seolah tak terbendung mengipas-ngipasi bara antar kubu.

Dalam benak saya bertanya-tanya, akankah segala kegaduhan ini tak ubahnya framing* yang lahir dari kesepakatan berlapis-lapis dari pihak entah siapa dengan suatu agenda?
Bagaimana jika yang saat ini sedang melanda bangsa ini tak ubahnya intrik purba yang berulang? Mungkin di balik ini hanya akan ditemui hajat segelintir orang saja, yang kemudian disengaja atau tidak, pihak lain yang lebih lugu ini yang kemudian terseret dalam lingkar kepentingan itu.

Meski masih bertanya-tanya, saya putuskan itulah hipotesa saya. Jangan keburu percaya, namanya juga hipotesa.


Jakarta, 23 Januari 2017, sekitar dini hari.






*Framingpendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media

Minggu, 01 Januari 2017

Mulai tahun ini 2017 ini saya mau coba main resolusi-resolusian. Biasanya saya gak pernah bikin resolusi, tahun baru ya tahun baru aja, cuma ganti kalender dan hidup berjalan sama seperti biasa.
Baru kali ini saya kepingin. Kebetulan lagi banyak hal-hal yang sedang saya usahakan, dan berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, saya harap usaha yang berbeda akan mendatangkan hasil yang beda pula –lebih baik sih, harapannya. Walaupun, kalau Anda mau, merubah strategi begini bisa kapan saja dan gak harus nunggu tahun baru.

Bagi saya pribadi, menjadikan momen Tahun Baru sebagai garis start cuma alasan visualisasi dan ketepatan moment. Saya bayangkan saya ambil sebuah baju dari lemari yang masih bau laundry. Atau sedang menarik lambar terakhir pada kalender sobek tahun 2016 dengan dramatis, meremas, dan melemparkannya bersama energi negative sejauh mungkin.

Nah kembali ke resolusi, saya mengevaluasi diri saya, bahwa pada tahun 2016 lalu jiwa saya seperti mengerontang. Saya menjadi sangat pragmatis sampai lupa menghidupi hidup. Saya kerja dan kerja untuk bertahan hidup sendiri di kota besar, tapi nyatanya tak pernah saya mrasa benar-benar hidup. Saya hampa. Kepada setiap orang saya bilang bahwa saya realistis, padahal saya gak lebih dari orang yang kesepian dan pesimis memandang masa depan. Akibatnya, saya selalu lupa bersyukur. Ya gimana mau bersyukur, saya tidak pernah membiarkaan diri dan jiwa saya menikmati apapun. Percayalah, saya melihat dunia sebagai tempat yang sangat sangat buruk waktu itu.

Padahal, dengan kacamata yang berbeda, saat ini saya melihat ada begitu banyak nikmat yang dianugerahkan Tuhan buat saya di tahun itu. Betapa tidak, tahun 2016 adalah tahun pertama di mana saya berhasil hidup mandiri sepenuhnya. Gaji saya tidak banyak, tapi cukup dan tak pernah sekalipun saya kekurangan uang sampai harus ngutang pada 365 hari di tahun 2016 itu. Oh, saya  bahkan berhasil menyisihkan uang tabungan untuk melakukan suatu ritual agama yang saya anut. Yang mana sama sekali tidak terbayangkan akan bisa saya capai..

Tapi gara-gara saking tidak bersyukurnya saya, nikmat-nikmat itu sama sekali tidak saya recognize. Saya tahu betapa jengkelnya Tuhan sama saya waktu itu.

Sampai kemudian saya tersadar, cara hidup seperti ini tidak mendatangkan kebahagiaan dan memutuskan untuk merubah strategi. Saya me-recall kembali apa sebenarnya cita-cita saya, bagaimana hidup dengan harapan-harapan yang memacu semangat berusaha, bagaimana menjadi berarti bagi sebanyak mungkin orang di sekitar saya…

Saya mendapati sebuah keberanian untuk merekonstruksi harapan-harapan. Saya pengen lebih berani bermimpi dan mewujudkan mimpi tanpa harus terbelenggu pada kegagalan di masa lalu. Saya tidak ingin jadi manusia yang pesimis dan pahit. Satu tahun kemarin biarlah menjadi pelajaran yang sangat berharga. Meski saya akui bukan cara hidup yang baik, saya tidak menyesal telah harus melaluinya. Saya tahu bagaimanapun hidup yang harus saya jalani di tahun 2016  menghantamkan kesadaran hingga saya terbentuk sedemikian rupa.

Detik ini, saya memandang 2017 sebagai tanah lapang yang menunggu saya garap. Dan saya, adalah petani yang baru keluar dari pusat kebugaran.



Jakarta, 1 januari 2017
11.42 WIB


Rabu, 08 Juni 2016

Upik merasa tidak ada yang mengerti dia, setidaknya tentang 2 perkara. Ihwal pertama tentang betapa marahnya ia pada kedua orangtuanya atas cacat yang ditorehkan begitu dalam dan rasa-rasanya tidak akan pernah hilang sepanjanghidupnya.  Kedua, tentang betapa ia memiliki definisi yang gigantis tentang masa depan. Atas apa yang diberikan hidup di masa lalu yang terpaksa ia cecap pahitnya di masa kini, tinggallah masa depan sebagai ruang paling cerah yang bisa ia kira –karenanya begitu layak diperjuangkan, walau dengan agak obsesif.

Hari ini, tengah hari di tengah-tengah jam kerja Upik mengangkat telepon dari Ibunya. Sebuah telepon yang menggebu menyusul beberapa pesan singkat yang diabaikan.
“ibu pinjam uang 1juta untuk modal. Sumpah, jumat pasti kembali.” Hari ini hari Rabu. Ini bukan yang pertama dan Upik bukannya tidak tahu pinjam bagi ibunya bukanlah sesuatu yang harus diikuti dengan ‘mengembalikan” seperti kebanyakan orang. Tapi kitab suci melarang berbicara sinis atau kasar kepa orangtua.
“dikirim kemana?” sahut Upik dingin –cukuplah untuk dibilang tidak kasar. Jangan menghakimi Upik terlalu dalam, ini bukan perkara uang yang jumlahnya tidak seberapa, lebih karena ya, untuk sementara cukuplah anda tahu bahwa Upik memang selalu marah pada orangtuanya.
“di nomor rekening ibu, 1,5juta ya, sumpah jumat kembali.”
Ngelunjak. Nambah lagi. Batin Upik “Gak ada, 1juta saja”
“Yasudah, cepat, kasihan Ayah nunggu”.
Pribadi Upik seperti kayu kering di musim kemarau, getir dan gampang terprovokasi. Dalam hidupnya tidak pernah ada kata Ayah, tapi jika yang dimaksud ibunya adalah laki-laki durjana yang andilnya tak kalah besar dengan orangtuanya dalam menghancurkan hidupnya, itu lebih dari sekedar pemantik yang membakar dada.
“ulangi, kasihan siapa?” tanya Upik lebih dingin. Lebih sengit.
“ibu di jalan gak usah ribut-ribut, udah lah, ya, kirim ya” . telepon ditutup

Upik pindah duduk dari meja kerja ke sofa. Seperti yang biasa terjadi tiap ibunya mempermalukan diri sendiri, perasaan rumit selalu menggelayuti Upik. Dia melihat ibunya seperti seorang sekarat yang ditempeli parasit. Setiap tetes kehidupan yang dialirkan pada sang ibu akan selalu terbagi  –kalau tak bisa dikatakan lebih banyak menutrisi sang benalu.

Bercerai dari Bapaknya –orangtua biologis laki-laki Upik, setelah perselingkuhan bertahun-tahun dengan mantan kekasihnya, Ibu Upik berangan tentang hidup yang lebih bahagia. Meninggalkan Bapak Upik yang pelit nafkah, kasar dan ringan tangan menuju hidup baru yang penuh cinta, pikirnya. Tapi rupanya romansa tidak menjadikan Ibu Upik sungguhan bahagia. Paling tidak begitu yang dilihat Upik. Ibunyalah yang menjadi kepala keluarga, menjadi tameng untuk setiap hinaan dan cercaan dunia atas perselingkuhan yang nista, menjadi penyangga bagi kebutuhan hidup dan setiap kepulan asap tembakau dari suami barunya.

Karena wanita itu ibunya sudah pasti Upik Iba, tapi tidak dengan sosok yang dimaksud ibunya dengan sebutan Ayah. Tidak dengan si Lintah. Tapi hidup selalu memaksa Upik melakukan hal-hal yang dilematis. Hidup selalu menjejalinya dengan kekecewaan tak peduli betapa matangnya ia berencana. Atau Upik yang lemah, Upik yang terlalu sentimental. Singkat cerita toh ia kirim juga suntikan dana. Sekali lagi Upik telah berbuat sesuatu demi keberlangsungan hidup ibunya, yang secara otomatis juga hidup suami penganggurannya.

Sabtu, 04 Juni 2016

Selamat Sore,
Ada yang bilang derajat literasi itu terbagi dalam 3 level:
1. Menonton
2. Membaca
3. Menulis

Mari untuk tidak memperdebatkan kebenaran teori itu, toh saya sendiri lupa dengar dari mana. Sejauh ini saya percaya-percaya saja, setidaknya cocok dengan diri saya sendiri bahwa memang, meluangkan waktu untuk membaca tak semudah serta merta menyalakan layar kaca, pun membuat sebuah karya, dalam hal ini menulis, akan jauh lebih susah lagi buat saya.

Saya suka megapresiasi karya tulis, saya bisa menikmati seni sastra sampai bacaan ringan, kadang-kadang saya biarkan sisi pseudo-intellectualism saya berkembang liar dengan sok-sok membincangkan detil karya dengan seseorang, siapa saja yang mau dengar. Saya tertarik pada alur, pada penokohan, lebih-lebih diksi. Bagi saya diksi menempati kasta tertinggi preferensi. Tapi ya hanya sebatas itu, dengan pengalaman membaca saya –ya, ini cukup bisa saya banggakan ketimbang kebanyakan orang, tak satupun karya yang saya hasilkan, di luar tuntutan tugas sekolah atau kuliah dulu. Keinginan tentu ada, beberapa embrio terbentuk, file-file lama berisi penggalan kisah… sudah, saya sudah pernah mencoba, tapi kesulitan selalu bekisar pada 2 hal, antara susah mengawali atau mencari ending yang pas, yang nendang.

Sebagai gambaran, file tertua saya berusia 6 tahun. Saya buat tahun 2010 di bangku sekolah menengah. Terkadang masih saya buka dan baca berulang-ulang karena memang suka prolognya.

Kembali ke tulis-menulis. Saya pribadi mengagumi profesi penulis. Saya menemukan sisi magis dari aktivitas menterjemahkan keruwetan yang ada di benak menjadi kata-kata yang bisa dinikmati tidak hanya diri sendiri tapi juga orang lain. Menulis adalah katarsis. Anda bisa berhayal, membual, berkeluh kesah, apa saja, dan ekses dari pikiran-pikiran itu mewujud menjadi anak jiwa, meminjam istilah Dewi Lestari dalam memaknai karyanya.
Bagi Anda yang sedang dilanda kesulitan ekonomi sah-sah saja membual soal jet pribadi dan jalan-jalan mewah a la Syahrini.
Bagi Anda yang putus cinta boleh juga memimpikan romansa Keenan dan Raisa.

Melalui ESTUARIA –muara, saya sendiri mungkin akan menceburkan diri dalam fantasia itu. Mungkin akan ada halusinasi tentang kisah-kisah sempurna, atau curhat murahan seputar kegetiran yang diberikan hidup pada saya, atau mungkin berbagi mimpi-mimpi yang memburu, mungkin juga ada cinta yang merah dan sengit, apa saja yang berkelebat dalam kepala bahkan yang mengendap lama di hati saya, saya harapkan semua itu akan bermuara, memberikan sensasi lapang yang sama ketika Air Comberan berhasil menyapa Samudera.. Saya pastikan ESTUARIA tidak akan menjadi karya yang sedap dibaca khalayak, ini hanya akan untuk saya dan saya tahu benar bagaimana menikmatinya. Benar, ini adalah katarsis pribadi. Meluruhkan kesedihan dan menyeimbangkan kebahagiaan. Kelak kalau saya moksa, seseorang mungkin akan mengenal saya tepat seperti apa yang tergambar di sini.

Bukankah ini luar biasa? Aktualisasi diri ini sekaligus melontarkan saya dalam derajat literasi tertinggi – jika memang teori di atas itu benar adanya.
Shalom.



Necropolis, 4 Juni 2016

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
a warm-hearted antagonist

Popular Posts