Selamat Sore,
Ada yang bilang derajat literasi itu terbagi dalam 3 level:
1. Menonton
2. Membaca
3. Menulis
Mari untuk tidak memperdebatkan kebenaran teori itu, toh saya
sendiri lupa dengar dari mana. Sejauh ini saya percaya-percaya saja, setidaknya
cocok dengan diri saya sendiri bahwa memang, meluangkan waktu untuk membaca tak
semudah serta merta menyalakan layar kaca, pun membuat sebuah karya, dalam hal
ini menulis, akan jauh lebih susah lagi buat saya.
Saya suka megapresiasi karya tulis, saya bisa menikmati seni
sastra sampai bacaan ringan, kadang-kadang saya biarkan sisi pseudo-intellectualism
saya berkembang liar dengan sok-sok membincangkan detil karya dengan seseorang,
siapa saja yang mau dengar. Saya tertarik pada alur, pada penokohan,
lebih-lebih diksi. Bagi saya diksi menempati kasta tertinggi preferensi. Tapi ya
hanya sebatas itu, dengan pengalaman membaca saya –ya, ini cukup bisa saya
banggakan ketimbang kebanyakan orang, tak satupun karya yang saya hasilkan, di
luar tuntutan tugas sekolah atau kuliah dulu. Keinginan tentu ada, beberapa
embrio terbentuk, file-file lama berisi penggalan kisah… sudah, saya sudah
pernah mencoba, tapi kesulitan selalu bekisar pada 2 hal, antara susah
mengawali atau mencari ending yang pas, yang nendang.
Sebagai gambaran, file tertua saya berusia 6 tahun. Saya buat
tahun 2010 di bangku sekolah menengah. Terkadang masih saya buka dan baca
berulang-ulang karena memang suka prolognya.
Kembali ke tulis-menulis. Saya pribadi mengagumi profesi
penulis. Saya menemukan sisi magis dari aktivitas menterjemahkan keruwetan yang
ada di benak menjadi kata-kata yang bisa dinikmati tidak hanya diri sendiri
tapi juga orang lain. Menulis adalah katarsis. Anda bisa berhayal, membual,
berkeluh kesah, apa saja, dan ekses dari pikiran-pikiran itu mewujud menjadi anak
jiwa, meminjam istilah Dewi Lestari dalam memaknai karyanya.
Bagi Anda yang sedang dilanda kesulitan ekonomi sah-sah saja
membual soal jet pribadi dan jalan-jalan mewah a la Syahrini.
Bagi Anda yang putus cinta boleh juga memimpikan romansa Keenan
dan Raisa.
Melalui ESTUARIA –muara, saya sendiri mungkin akan
menceburkan diri dalam fantasia itu. Mungkin akan ada halusinasi tentang kisah-kisah
sempurna, atau curhat murahan seputar kegetiran yang diberikan hidup pada saya,
atau mungkin berbagi mimpi-mimpi yang memburu, mungkin juga ada cinta yang merah
dan sengit, apa saja yang berkelebat dalam kepala bahkan yang mengendap lama di
hati saya, saya harapkan semua itu akan bermuara, memberikan sensasi lapang
yang sama ketika Air Comberan berhasil menyapa Samudera.. Saya
pastikan ESTUARIA tidak akan menjadi karya yang sedap dibaca khalayak, ini hanya
akan untuk saya dan saya tahu benar bagaimana menikmatinya. Benar, ini adalah
katarsis pribadi. Meluruhkan kesedihan dan menyeimbangkan kebahagiaan. Kelak kalau
saya moksa, seseorang mungkin akan mengenal saya tepat seperti apa yang tergambar
di sini.
Bukankah ini luar biasa? Aktualisasi diri ini sekaligus melontarkan saya
dalam derajat literasi tertinggi – jika memang teori di atas itu benar adanya.
Shalom.
Necropolis, 4 Juni 2016
0 komentar:
Posting Komentar