Kemana perginya Air Comberan hendak menyapa Samudera? Estuaria –Muara.

Sabtu, 04 Juni 2016

Selamat Sore,
Ada yang bilang derajat literasi itu terbagi dalam 3 level:
1. Menonton
2. Membaca
3. Menulis

Mari untuk tidak memperdebatkan kebenaran teori itu, toh saya sendiri lupa dengar dari mana. Sejauh ini saya percaya-percaya saja, setidaknya cocok dengan diri saya sendiri bahwa memang, meluangkan waktu untuk membaca tak semudah serta merta menyalakan layar kaca, pun membuat sebuah karya, dalam hal ini menulis, akan jauh lebih susah lagi buat saya.

Saya suka megapresiasi karya tulis, saya bisa menikmati seni sastra sampai bacaan ringan, kadang-kadang saya biarkan sisi pseudo-intellectualism saya berkembang liar dengan sok-sok membincangkan detil karya dengan seseorang, siapa saja yang mau dengar. Saya tertarik pada alur, pada penokohan, lebih-lebih diksi. Bagi saya diksi menempati kasta tertinggi preferensi. Tapi ya hanya sebatas itu, dengan pengalaman membaca saya –ya, ini cukup bisa saya banggakan ketimbang kebanyakan orang, tak satupun karya yang saya hasilkan, di luar tuntutan tugas sekolah atau kuliah dulu. Keinginan tentu ada, beberapa embrio terbentuk, file-file lama berisi penggalan kisah… sudah, saya sudah pernah mencoba, tapi kesulitan selalu bekisar pada 2 hal, antara susah mengawali atau mencari ending yang pas, yang nendang.

Sebagai gambaran, file tertua saya berusia 6 tahun. Saya buat tahun 2010 di bangku sekolah menengah. Terkadang masih saya buka dan baca berulang-ulang karena memang suka prolognya.

Kembali ke tulis-menulis. Saya pribadi mengagumi profesi penulis. Saya menemukan sisi magis dari aktivitas menterjemahkan keruwetan yang ada di benak menjadi kata-kata yang bisa dinikmati tidak hanya diri sendiri tapi juga orang lain. Menulis adalah katarsis. Anda bisa berhayal, membual, berkeluh kesah, apa saja, dan ekses dari pikiran-pikiran itu mewujud menjadi anak jiwa, meminjam istilah Dewi Lestari dalam memaknai karyanya.
Bagi Anda yang sedang dilanda kesulitan ekonomi sah-sah saja membual soal jet pribadi dan jalan-jalan mewah a la Syahrini.
Bagi Anda yang putus cinta boleh juga memimpikan romansa Keenan dan Raisa.

Melalui ESTUARIA –muara, saya sendiri mungkin akan menceburkan diri dalam fantasia itu. Mungkin akan ada halusinasi tentang kisah-kisah sempurna, atau curhat murahan seputar kegetiran yang diberikan hidup pada saya, atau mungkin berbagi mimpi-mimpi yang memburu, mungkin juga ada cinta yang merah dan sengit, apa saja yang berkelebat dalam kepala bahkan yang mengendap lama di hati saya, saya harapkan semua itu akan bermuara, memberikan sensasi lapang yang sama ketika Air Comberan berhasil menyapa Samudera.. Saya pastikan ESTUARIA tidak akan menjadi karya yang sedap dibaca khalayak, ini hanya akan untuk saya dan saya tahu benar bagaimana menikmatinya. Benar, ini adalah katarsis pribadi. Meluruhkan kesedihan dan menyeimbangkan kebahagiaan. Kelak kalau saya moksa, seseorang mungkin akan mengenal saya tepat seperti apa yang tergambar di sini.

Bukankah ini luar biasa? Aktualisasi diri ini sekaligus melontarkan saya dalam derajat literasi tertinggi – jika memang teori di atas itu benar adanya.
Shalom.



Necropolis, 4 Juni 2016

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
a warm-hearted antagonist

Popular Posts