Upik merasa tidak ada
yang mengerti dia, setidaknya tentang 2 perkara. Ihwal pertama tentang betapa
marahnya ia pada kedua orangtuanya atas cacat yang ditorehkan begitu dalam dan
rasa-rasanya tidak akan pernah hilang sepanjanghidupnya. Kedua, tentang betapa ia memiliki definisi yang
gigantis tentang masa depan. Atas apa yang diberikan hidup di masa lalu yang
terpaksa ia cecap pahitnya di masa kini, tinggallah masa depan sebagai ruang
paling cerah yang bisa ia kira –karenanya begitu layak diperjuangkan, walau
dengan agak obsesif.
Hari ini, tengah hari di
tengah-tengah jam kerja Upik mengangkat telepon dari Ibunya. Sebuah telepon
yang menggebu menyusul beberapa pesan singkat yang diabaikan.
“ibu pinjam uang 1juta
untuk modal. Sumpah, jumat pasti kembali.” Hari ini hari Rabu. Ini bukan yang
pertama dan Upik bukannya tidak tahu pinjam bagi ibunya bukanlah sesuatu yang
harus diikuti dengan ‘mengembalikan” seperti kebanyakan orang. Tapi kitab suci
melarang berbicara sinis atau kasar kepa orangtua.
“dikirim kemana?” sahut Upik
dingin –cukuplah untuk dibilang tidak kasar. Jangan menghakimi Upik terlalu
dalam, ini bukan perkara uang yang jumlahnya tidak seberapa, lebih karena ya,
untuk sementara cukuplah anda tahu bahwa Upik memang selalu marah pada
orangtuanya.
“di nomor rekening ibu,
1,5juta ya, sumpah jumat kembali.”
Ngelunjak. Nambah lagi. Batin Upik “Gak ada, 1juta saja”
“Yasudah, cepat, kasihan
Ayah nunggu”.
Pribadi Upik seperti
kayu kering di musim kemarau, getir dan gampang terprovokasi. Dalam hidupnya
tidak pernah ada kata Ayah, tapi jika yang dimaksud ibunya adalah laki-laki
durjana yang andilnya tak kalah besar dengan orangtuanya dalam menghancurkan
hidupnya, itu lebih dari sekedar pemantik yang membakar dada.
“ulangi, kasihan siapa?” tanya Upik lebih dingin. Lebih sengit.
“ibu di jalan gak usah
ribut-ribut, udah lah, ya, kirim ya” . telepon ditutup
Upik pindah duduk dari
meja kerja ke sofa. Seperti yang biasa terjadi tiap ibunya mempermalukan diri
sendiri, perasaan rumit selalu menggelayuti Upik. Dia melihat ibunya seperti
seorang sekarat yang ditempeli parasit. Setiap tetes kehidupan yang dialirkan
pada sang ibu akan selalu terbagi –kalau tak bisa dikatakan lebih banyak menutrisi sang benalu.
Bercerai dari Bapaknya
–orangtua biologis laki-laki Upik, setelah perselingkuhan bertahun-tahun dengan
mantan kekasihnya, Ibu Upik berangan tentang hidup yang lebih bahagia.
Meninggalkan Bapak Upik yang pelit nafkah, kasar dan ringan tangan menuju hidup
baru yang penuh cinta, pikirnya. Tapi rupanya romansa tidak menjadikan Ibu Upik
sungguhan bahagia. Paling tidak begitu yang dilihat Upik. Ibunyalah yang
menjadi kepala keluarga, menjadi tameng untuk setiap hinaan dan cercaan dunia
atas perselingkuhan yang nista, menjadi penyangga bagi kebutuhan hidup dan
setiap kepulan asap tembakau dari suami barunya.
Karena wanita itu ibunya
sudah pasti Upik Iba, tapi tidak dengan sosok yang dimaksud ibunya dengan
sebutan Ayah. Tidak dengan si Lintah. Tapi hidup selalu memaksa Upik melakukan
hal-hal yang dilematis. Hidup selalu menjejalinya dengan kekecewaan tak peduli
betapa matangnya ia berencana. Atau Upik yang lemah, Upik yang terlalu
sentimental. Singkat cerita toh ia kirim juga suntikan dana. Sekali lagi Upik
telah berbuat sesuatu demi keberlangsungan hidup ibunya, yang secara otomatis
juga hidup suami penganggurannya.
0 komentar:
Posting Komentar