Kemana perginya Air Comberan hendak menyapa Samudera? Estuaria –Muara.

Rabu, 08 Juni 2016

Upik merasa tidak ada yang mengerti dia, setidaknya tentang 2 perkara. Ihwal pertama tentang betapa marahnya ia pada kedua orangtuanya atas cacat yang ditorehkan begitu dalam dan rasa-rasanya tidak akan pernah hilang sepanjanghidupnya.  Kedua, tentang betapa ia memiliki definisi yang gigantis tentang masa depan. Atas apa yang diberikan hidup di masa lalu yang terpaksa ia cecap pahitnya di masa kini, tinggallah masa depan sebagai ruang paling cerah yang bisa ia kira –karenanya begitu layak diperjuangkan, walau dengan agak obsesif.

Hari ini, tengah hari di tengah-tengah jam kerja Upik mengangkat telepon dari Ibunya. Sebuah telepon yang menggebu menyusul beberapa pesan singkat yang diabaikan.
“ibu pinjam uang 1juta untuk modal. Sumpah, jumat pasti kembali.” Hari ini hari Rabu. Ini bukan yang pertama dan Upik bukannya tidak tahu pinjam bagi ibunya bukanlah sesuatu yang harus diikuti dengan ‘mengembalikan” seperti kebanyakan orang. Tapi kitab suci melarang berbicara sinis atau kasar kepa orangtua.
“dikirim kemana?” sahut Upik dingin –cukuplah untuk dibilang tidak kasar. Jangan menghakimi Upik terlalu dalam, ini bukan perkara uang yang jumlahnya tidak seberapa, lebih karena ya, untuk sementara cukuplah anda tahu bahwa Upik memang selalu marah pada orangtuanya.
“di nomor rekening ibu, 1,5juta ya, sumpah jumat kembali.”
Ngelunjak. Nambah lagi. Batin Upik “Gak ada, 1juta saja”
“Yasudah, cepat, kasihan Ayah nunggu”.
Pribadi Upik seperti kayu kering di musim kemarau, getir dan gampang terprovokasi. Dalam hidupnya tidak pernah ada kata Ayah, tapi jika yang dimaksud ibunya adalah laki-laki durjana yang andilnya tak kalah besar dengan orangtuanya dalam menghancurkan hidupnya, itu lebih dari sekedar pemantik yang membakar dada.
“ulangi, kasihan siapa?” tanya Upik lebih dingin. Lebih sengit.
“ibu di jalan gak usah ribut-ribut, udah lah, ya, kirim ya” . telepon ditutup

Upik pindah duduk dari meja kerja ke sofa. Seperti yang biasa terjadi tiap ibunya mempermalukan diri sendiri, perasaan rumit selalu menggelayuti Upik. Dia melihat ibunya seperti seorang sekarat yang ditempeli parasit. Setiap tetes kehidupan yang dialirkan pada sang ibu akan selalu terbagi  –kalau tak bisa dikatakan lebih banyak menutrisi sang benalu.

Bercerai dari Bapaknya –orangtua biologis laki-laki Upik, setelah perselingkuhan bertahun-tahun dengan mantan kekasihnya, Ibu Upik berangan tentang hidup yang lebih bahagia. Meninggalkan Bapak Upik yang pelit nafkah, kasar dan ringan tangan menuju hidup baru yang penuh cinta, pikirnya. Tapi rupanya romansa tidak menjadikan Ibu Upik sungguhan bahagia. Paling tidak begitu yang dilihat Upik. Ibunyalah yang menjadi kepala keluarga, menjadi tameng untuk setiap hinaan dan cercaan dunia atas perselingkuhan yang nista, menjadi penyangga bagi kebutuhan hidup dan setiap kepulan asap tembakau dari suami barunya.

Karena wanita itu ibunya sudah pasti Upik Iba, tapi tidak dengan sosok yang dimaksud ibunya dengan sebutan Ayah. Tidak dengan si Lintah. Tapi hidup selalu memaksa Upik melakukan hal-hal yang dilematis. Hidup selalu menjejalinya dengan kekecewaan tak peduli betapa matangnya ia berencana. Atau Upik yang lemah, Upik yang terlalu sentimental. Singkat cerita toh ia kirim juga suntikan dana. Sekali lagi Upik telah berbuat sesuatu demi keberlangsungan hidup ibunya, yang secara otomatis juga hidup suami penganggurannya.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
a warm-hearted antagonist

Popular Posts